I.
Sejarah Lahirnya Pancasila
Sebagai Ideologi Dan Dasar Negara
Tiga setengah abad lebih, bangsa kita dijajah bangsa
asing. Tahun 1511 Bangsa Portugis merebut Malaka dan masuk kepulauan Maluku,
sebagai awal sejarah buramnya bangsa ini, disusul Spanyol dan Inggris yang juga
berdalih mencari rempah - rempah di bumi Nusantara. Kemudian Tahun 1596 Bangsa
Belanda pertama kali datang ke Indonesia dibawah pimpinan Houtman dan de Kyzer.
Yang puncaknya bangsa Belanda mendirikan VOC dan J.P. Coen diangkat sebagai
Gubernur Jenderal Pertama VOC.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya
tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun
Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia, sebab tahun 1944, tentara Jepang
mulai kalah melawan tentara Sekutu.
Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia
membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji
kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri
Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka
pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua
kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan
dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer
Jepang di Jawa dan Madura) Dalam maklumat tersebut sekaligus dimuat dasar
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk
selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan
bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei
1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945. Dalam
sidang pertama tersebut yang dibicarakan khusus mengenai dasar negara untuk
Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama tersebut 2 (dua) Tokoh membahas
dan mengusulkan dasar negara yaitu Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno.
Tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengajukan usul
mengenai calon dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu :
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri Ketuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Selain secara lisan M. Yamin juga mengajukan usul
secara tertulis yaitu :
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno (Bung
Karno) mengajukan usul mengenai calon dasar negara yaitu :
- Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
- Internasionalisme (Perikemanusiaan)
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama PANCASILA,
lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas
menjadi Trisila, yaitu:
- Sosio nasionalisme
- Sosio demokrasi
- Ketuhanan.
Selanjutnya oleh Bung Karno tiga hal tersebut masih
bisa diperas lagi menjadi Ekasila yaitu GOTONG ROYONG.
Selesai sidang pembahasan Dasar Negara, maka selanjutnya
pada hari yang sama (1 Juni 1945) para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk
sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan
memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota
diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan
tanggal 20 Juni 1945.
Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas 8 orang,
yaitu:
- Ir. Soekarno
- Ki Bagus Hadikusumo
- K.H. Wachid Hasjim
- Mr. Muh. Yamin
- M. Sutardjo Kartohadikusumo
- Mr. A.A. Maramis
- R. Otto Iskandar Dinata dan
- Drs. Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan
antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta.
Hasil yang dicapai antara lain disetujui dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik
Usul - usul/ Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. Muh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, K.H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar
Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. Muh.
Yamin. Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini berhasil merumuskan
Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian dikenal dengan sebutan PIAGAM JAKARTA.
Dalam sidang BPUPKI kedua, Tanggal 10 s/d 16 Juli
1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Tanggal 9
Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dan pada
Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, sejak saat
itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan
PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama :
- Mengesahkan Rancangan Hukum Dasar dengan Preambulnya (Pembukaan)
- Memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang sangat
panjang, sehingga sebelum mengesahkan Preambul, Drs. Muhammad Hatta terlebih
dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat
setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang
menemuinya. Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea
keempat preambul, di belakang kata KETUHANAN yang berbunyi 'dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dihapus. Jika tidak maka
rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang
baru saja diproklamasikan.
Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang
pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada
Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Bung Hatta
berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh
karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat
Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan
dicoretnya 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'
di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan 'Yang Maha Esa', sehingga
Preambule (Pembukaan) UUD1945 disepakati sebagai berikut :
UNDANG-UNDANG
DASAR
NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat
rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dan untuk dapat melaksanakan PANCASILA sebagai
ideologi dan dasar negara sekaligus sebagai pandangan hidup seluruh Rakyat
Indonesia, maka Pancasila diterjemahkan dalam butir - butir Pancasila yaitu :
v
KETUHANAN YANG MAHA
ESA :
Ø
Bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ø
Manusia Indonesia
percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ø
Mengembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ø
Membina kerukunan
hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
Ø
Agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
Ø
Menyangkut hubungan
pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Ø
Mengembangkan sikap
saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Ø
Tidak memaksakan
suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
v
KEMANUSIAAN YANG
ADIL DAN BERADAB :
Ø
Mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
Ø
Mengakui persamaan
derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan
suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna
kulit dan sebagainya.
Ø
Mengembangkan sikap
saling mencintai sesama manusia.
Ø
Mengembangkan sikap
saling tenggang rasa dan tepa selira.
Ø
Mengembangkan sikap
tidak semena-mena terhadap orang lain.
Ø
Menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.
Ø
Gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan.
Ø
Berani membela
kebenaran dan keadilan.
Ø
Bangsa Indonesia
merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
Ø
Mengembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
v
PERSATUAN INDONESIA
:
Ø
Mampu menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Ø
Sanggup dan rela
berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
Ø
Mengembangkan rasa
cinta kepada tanah air dan bangsa.
Ø
Mengembangkan rasa
kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
Ø
Memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ø
Mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Ø
Memajukan pergaulan
demi persatuan dan kesatuan bangsa.
v
KERAKYATAN YANG
DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/ PERWAKILAN :
Ø
Sebagai warga
negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama.
Ø
Tidak boleh
memaksakan kehendak kepada orang lain.
Ø
Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Ø
Musyawarah untuk
mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
Ø
Menghormati dan
menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
Ø
Dengan i’tikad baik
dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
Ø
Di dalam musyawarah
diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Ø
Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Ø
Keputusan yang
diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan
keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Ø
Memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
v
KEADILAN SOSIAL
BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA :
Ø
Mengembangkan
perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
Ø
Mengembangkan sikap
adil terhadap sesama.
Ø
Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ø
Menghormati hak
orang lain.
Ø
Suka memberi
pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Ø
Tidak menggunakan
hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasaN terhadap orang lain.
Ø
Tidak menggunakan
hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gayA hidup mewah.
Ø
Tidak menggunakan
hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikaN kepentingan umum.
Ø
Suka bekerja keras.
Ø
Suka menghargai
hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Ø
Suka melakukan
kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil
mendirikan negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bisa
dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir
batin, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara
(the founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi
nilai-nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai
Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945
dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila
resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kemudian
mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap
menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh
kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila.
Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan
filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman kepada
Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah Indonesia
selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan
NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa
orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru
memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden
yang pertama Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang
telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila
yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling
berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang berjumlah 5 (lima) yang
kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
II. Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib
diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan
Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi
oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan dengan
nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu.
A. Masa Orde Lama.
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang
berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi.
Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan
dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat
terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa
pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan.
Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.
Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode
1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah,
tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar
negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948
dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode
ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang
masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah
penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan
politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat
dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer,
dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala
pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya
stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan
adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan
system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi
rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara
terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih
menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat
tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta
yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Dalam bidang politik, demokrasi
berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling
demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD
seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan
keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk
membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945.
Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah
Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin
stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.
Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah
nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno.
Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral
di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila,
dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila
dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa,
beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia,
demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional.
Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas
wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik
adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan
tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.
B. Masa Orde Baru.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang
dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang
dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir
bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan
pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di
arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh
paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung
rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah
stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian
pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi
selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik dengan
melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu
saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi
bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun
beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak
sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat
dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan
dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian.
Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi
tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM
terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara.
Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang
menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada
sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan,
Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan
satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan
kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
C. Masa Orde Reformasi
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini
Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga
berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat
mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah. Rakyat
bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik, LSM, dan
lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik daripada masa Orba. Namun,
sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan pemerintahan dan
kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. Dalam bidang sosial budaya,
disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas
masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme.
Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar daerah
terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan
primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran
menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati
negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem
yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan merupakan
suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian
bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang
bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai
dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat
ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik
horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di
Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban
jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan
kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan
kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat
Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada
era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara
formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas
pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus
demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak
tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen
bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku
ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan
terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang
telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan
sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan
berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak
segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela
mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.
Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan ”subversi
asing”, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan
secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi
diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila pada
masyarakat melemah.
No comments:
Post a Comment